Halo sobat apa kabar?hari ini saya akan berbagi cerita,cerita ini saya temukan saat sedang berjalan jalan mencari sebuah cerpen persahabatan dan saya menemukan cerita ini yang saya rasa cerita ini cukup nikmat bila dibaca.nah sekarang silahkan membaca.
Cerita ini diciptakan oleh: Rica Okta Yunarweti
Cahaya keemasan matahari dan
hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan
menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa
menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh
dikatakan aku gemar melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang.
Apalagi dengan seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
Dari kejauhan terdengar alunan
biola nan merdu semakin mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku
semakin penasaran.
“Ya sudahlah, mungkin hanya
perasaanku saja”
Dengan rasa penasaran,
aku
sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan
komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah
cahaya mentari yang mulai redup.
* * *
Pulang petang menjadi hal
yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy berambut hitam panjang yang
selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah rumah pohonnya, letaknya
di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap
keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan
perasaantakut karena selalu pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan,
Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
“Lintang,, Lintang,, dari mana
saja kamu?
“Aku mencarimu! Kata Diana
“Aku main basket di tempat
biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
“Entahlah…. Sudah dulu ya, bau
banget nih.
“Huuhh,, dasar cewek gadungan,
aku dicuekin lagi…! Kesal Diana
Dengan rasa kesal, gadis itu pun
masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan
dekat lemari kaca yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat
dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu
kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan tenangnya dunia di laut lepas.
* * *
Lintang segera membersihkan
dirinya karena takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata
wayangnya itu. Sifat keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu
hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas
kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia merasakan sakit
pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang bingung dengan
apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari kursi tingginya, mencoba
mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat tidur dan beristirahat.
* * *
Teriknya mentari dan angin
sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini
hanyut dalam omajinasi. Khayalan yang sungguh nyata membawa ia larut dalam
impian.
“Hai Diana, asyik bener nih
melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Lintang
“Hmm,, ngapain juga aku gambar
kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
Mereka begitu asyik bercanda
tanpa menghiraukan teman yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan karena
tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan anak-anak yang lain
sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
“Aku mau cerita..tapi……….(serius
Lintang_
“Cerita aja…ada apa? ( menatap Lintang
kebingungan)
Tiba-tiba, Lintang terjatuh.
Kata-kata yang ingin ia bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan gadis seni ini
sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana
berlari menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar
pada orang tua Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
“Aku ada di mana? Ada apa
denganku? ( sadar Lintang)
“Kamu ada di rumah sakit. Kamu
tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir
Diana)
“Aku sakit apa? Mana ayah?”
“Dokter masih belum
memberitahukan pasti penyakitmu. Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah
sebentar. Cepat sembuh ya,, biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu
udah janji kemaren.”
“Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh,
jangan berpiir gitu, kamu pasti sembuh. Semangatlah, aku akan ada di
sampingmu..”
“Sudah, sekolah sana. Biar
pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
“Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini
diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe”
“Ya deh,, buktikan ke aku ya
nanti.”
“Iya, pasti. Suatu saat kita akn
merayakan keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu
juga akan ke sini. Bye !!”
“Bye.. Hati-hati ya Diana.
Thank’s!"
* * *
Jalan lorong sekolah tampak
sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik
sambil membawa biola dengan wajah yang tampak murung, Diana segera
menghampirinya.
“Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak
masuk kelas?” Tanya Diana heran
“Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di
sini aja.”
“Jangan seperti anak kecil,
ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
“Tadi, ketika ada pemilihan
bakat pemain biola, aku ada kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya
nggak enak didengar. Mereka menertawakanku, padahal aku baru saja pindah ke
sekolah ini jadi aku masih belum pandai memainkan alat musik seperti biola
ini..”
“Kamu sudah hebat kok, kamu bisa
memainkan alat musik kesukaanku, dan aku… aku hanya bisa menggambarnya. Yang
penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
“Thengs.. siapa namamu?”
“Diana!" Teriaknya..
(sambil berlari)
Nafas yang terengah-engah membasahi
wajah gadis lembut nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang
sudah mulai belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang
terbaring lemah.
(Mungkinkah kami akan terus bersama?)
dalam hatinya berkata.
Ibu Tari masuk ke kelas
tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melamun segera menghampirinya.
“Diana, kenapa kamu?”
“Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
“Kamu bohong, da masalah ya?
Tidak biasanya kamu seperti ini!”
“Ii..ia bu.”
“Memangnya ada apa,
sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini?’
“Sahabatku, Lintang. Dia masuk
rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
“Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang
sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
“Ibu mau menjenguknya? “
“Iya,, nggak apa-apa kan?”
“I..ya. nggak masalah.” Semangat
Diana
Ibu Tari adalah guru yang paling
disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa
keibuan, walaupun beliau belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti
perasaan orang lain.
Ibu Tari memberi semangat Diana,
membuat ia semangat pula bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan
dengan kuas kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu
Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan. Lukisannya
menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing tinggi yang
dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi pantulan sinar matahari
di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa dalam khayalan. Diana
dan bu Tari pun berangkat menjenguk Lintang.
Hanya mereka berdua yang
masih berada di sekolah. Tak heran, suara mereka menggema ketika lewat lorong
sekolah. Diana melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket.
Ia sempat kaget ada seorang gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia
hampiri, ternyata gadis biola itu.
“Hai, belum pulang?" Sapa
Diana
“Hmmn. Belum Diana’
“Ngapain kamu sendiri di sini,
Zy?” Sahut bu Tari
“Lho, ibu kenal dia?” sahut
Diana
“Uta, ibu kan juga mengajar kelas
musik. JadI ibu kenal Lizy”
“Ohh, namamu Lizy ya?”
“Iya,, ibu mau ke mana, kok sama
Diana?”
“Ibu sama Diana mau ke rumah
sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
“Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik
matahari sudah mulai membakar kulit nih..” ajak Lizy
“Hhhhaha….” Sambung Diana
* * *
Diana meletakkan sekeranjang
buah yang di bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang.
Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk
mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
“Bagaimana keadaanmu?” kejut
Lizy
“Ya, lumayan lah, agak mendingan.”
Dengan suara datar sambil menunduk.
Lintang mengangkat kepalanya,
dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
“Bagaimana bisa kamu di sini
Zy?”
“Syukurlah. Tadi aku diajak bu
Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku.”
“Sebenarnya, kamu sakit apa
sih?” sambung Diana
“a..ku, sakit Leukimia..”
Semuanya tercengang, tak ada
seorang pun yang berani memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang
langsung terdiam ketika ia memainkan dasinya..
“Kalian tak usah khawatir, di
sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian kecewa”
“Jangan bilang begitu, yakinlah
kamu masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
“Yaa, teruslah bersemangat.
Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat sembuh.” Sambung bu Tari
( Lintang terharu mengingat dan
menyimpan momen ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di
pipinya). Semuanya merasa iba padanya, khususnya Deva teman basketnya yang
justru tidak mau kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy merasakan
halyang sama dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
“Hari mulai sore nih, kalian
semua masih belum ada yang mau pulang?”
“Belum bu, sebentar lagi.” Jawab
mereka serempak.
“Ya sudah, ibu pulang duluan.
Cepat sembuh, ya Lintang. Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim
basketmu, pasti mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
“walaikumsallam.. Iya bu,
makasih. Hati-hati ya bu..”
Suasana berubah menjadi hening
kembali..
“Aku tak ingin kehilanganmu,
Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
“Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka
serempak.
Hari ini terasa cukup singkat.
Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang
membawakabar perih dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan
lukisannya. Di dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang.
Ia merasa iba melihat orang tua Lintang pergi bolak balik mencari uang.
“Diana, ada apa denganmu?’ kejut
Lintang
“Tidak, kami harus pulang. Hari sudah
mulai gelap nih”
“ohh, ya. Besok mungkin aku
sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil”
“Cepat sembuh, ya”……
* * *
Di depan lukisannya, Diana
duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.
Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di
kelopak mataku..
Walaupun aku tertawa, tapi
aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya tersenyum.
Jika Engkau mengizinkan.
Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku
Ia simpan buku diarynya di
tumpukkan buku pelajarannya. Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang.
Iameluangkan waktu untuk melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa
sepengetahuan Lintang. Lizy yang baru dikenalnya juga turut membantu. Tak
heran, ibunya Diana tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam
semakin larut, Lizy yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap.
Mereka terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang
tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….
3 hari kemudian…
Pohon-pohon yang menjulang
tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana
dan Lizy sengaja membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun
makanan, peralatan lukis, dan tempat mereka duduk. Sedangkan Lizy bersiap-siap
di atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Lintang,
ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran
melihatnya.
Diana memulai dengan memukul
kedua kuasnya menandakan Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan
lagu berjudul “semua tentang kita” sambil bernyanyi.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang
kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di
hati
Teringat di saat kita tertawa
bersama
Ceritakan semua tentang kita
Ada cerita tentang aku dan
dia
Dan kita bersama saat duu
kala
Ada cerita tentang masa yang
indah
Saat kitaberduka saat kita
tertawa
Ketika lagunya selesai,
tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana seperti di pemakaman, sepi,
sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
“Dan aku baru ingat. Dulu ketika
aku melukis sendiri di sini aku kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola
ternyata… itu kamu, Lizy!”
“Iya,, tengs. Aku sengaja
memainkannya karena semenjak aku tinggal di sini aku sangat kesepian. Dan
ketika aku menemukan tempat indah ini, setiap sore di waktu luangku, aku
bermain biola. Kebetulan, aku melihat seorang gadis sedang melukis.”
“waah.. kalian sungguh hebat!
Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang membuat acara ini dan kalian
juga yang mendapatkan kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, aku juga
kagum atas sikapmu yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi
nanti jangan lupakan persahabatan kita ini ya..”
“Ah, kalian ini selalu membuatku
GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan
masing-masing. Dan kamu Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang
tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kamu bisa
bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
“Emang aku bola, tahan
bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
Diana tak ingin membuat hati
teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya
sangat mengganjal. Tak lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”.
Dari kejauhan Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka
yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia
menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan langsung duduk di
tikar.
“Eh, kamu. Udah minta izin
dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
“Kok gitu, sih Diana. Nggak
apa-apa kok.” Bela Lintang
“Coba deh kalian lihat, dia mau
ngehancurin acara kita.” Sebel Diana
“Eh kamu, bagai ratu aja.
Lintang aja nggak keganggu. Sekali-sekali dong aku ikut gabung. Kan
jarang-jarang bisa dekat sama cowok popular di sekolah. hitung-hitung
kesempatan buat kalian.”
“Ya sudah, cukup. Kita nyanyi
bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
“Eh, ganti dong simbolnya
jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
“Ah, kamu ini ada-ada saja.
Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
“hhuuhh…”
Seharian mereka jalani untuk menghibur
Lintang. Walaupun diantara mereka baru saling mengenal, tapi mereka seperti
mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.
* * *
Waktu yang tepat ditemukan Diana
dan Lizy untuk menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi
agar lukisan Diana laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu
untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan
pada orang tua Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang biasanya sibuk
dengan tim basketnya, akhirnya ikut membantu juga.
Di waktu yang bersamaan mereka
datang ke rumah Lintang secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan
sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka
segera membawa Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya.
Mengingat Lintang adalah anak semata wayang orang tuanya.
Ternyata, penyakitnya bertambah
parah. Sebenarnya, Lintang pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya.
Uang yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang.
Di tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun
telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa harus
membeli semua obat yang diperlukan.
* * *
Setiap lorong sekolah kelas X
ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy
dan disenangi banyak orang.
“Hai, Diana, Lizy. Gimana
keadaan Lintang? Apa dia membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?”
(pertanyaan runtun dari Deva)
“Hello Deva, kalau nanya
satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
“Emang, kami orang tuanya? Kami
juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas
Lizy
Bunyi bel panjang bertanda telah
berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu
sampai hujan reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah
dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk.
Hujan yang lebat tak mereka
perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis
terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang
benar nyata. Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat
tertolong lagi karena penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang tua Lintang
merasa kehilangan dan terpukul, namun semua adalah kehendak-Nya. Orang tua
Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva. Menganggap
mereka sebagai anaknya.
* * *
“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_
Kalimat itu selalu melintas
dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva. Kerasa tak percaya, kehilangan,
kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka termenung di tepi danau sambil
menyanyikan lagu “Semua Tentang Kita” yang biasa mereka nyanyikan.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang
kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di
hati
Belum sempat lagu itu
dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi ketiganya. Orang tua Lintang
tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Lizy,
Diana dan Deva bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat
mereka. Ibu Lintang tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang
bergambar bunga. Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa
penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya seperti sedang lomba baca
puisi.
Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki
mimpi
Bukan hal yang salah
mempunyai tujuan
Tujuan seperti sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya
terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu saat kita
harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang
ada pada kita sendiri
“Waahh, sungguh bersemangatnya
dia. Aku piker karena fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi aku salah.
Hebat!! Puji Diana. Sambil melanjutkan lukisannya.
“Iya..”sambung Lizy sambil
meneteskan air mata.
Suasana menjadi hening kembali.
Kemudian Diana berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang
melintas di pipinya.
“Lukisan dengan simbol
“LiDiZyVa” akhirnya selesai”
“Waahh..keren.!”
Mereka menatap terpesona lukisan
yang melambangkan persahabatan ini yang terlihat indah karena di sekitar
tulisan itu ada gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah
persahabatanku. Dan tempat inilah aku dan sahabatku berbagi walau hanya sekedar
untuk mengenang Lintang.
SELESAI
Cerpen diatas menurut saya sangat inspiratif untuk sebuah cerpen persahabatan.
Sumber : cerpen.gen22.net
cara menghilangkan jenuh saat bekerja